Heyhoooo..
Ketemu lagi nihhh.. Kali ini kita akan beralih dari pantai ke Gunung. Bukan
kaya gunung papandayan, cikuray, dll sih. Ini cuma bukit yang mirip gunung. Entahlah
saya juga kurang ngerti kenapa bisa disebut gunung.
Dalam
peradaban tatar Sunda, Kabupaten Garut pada umumnya, khususnya wilayah Garut
selatan kurang begitu diperhatikan. Terlebih jika dikaitkan dengan kerajaan
atau dengan isu penyebaran ajaran Islam. Sebab, dipungkiri ataupun tidak, di
wilayah Kabupaten Garut tidak pernah berdiri kerajaan besar seperti Galuh
Pakuan, Sumedang Larang, Pajajaran, Kasepuhan dan Banten. Akan tetapi, realitas
tersebut tidak menutup kemungkinan kalau di wilayah Garut pernah berdiri
kerajaan kecil yang dijadikan basis penyebaran agama Islam di wilayah Garut
Selatan yang terjadi sekitar awal abad ke 13.
Gunung
Nagara mempunyai keunikan, dan kisahnya (folklore) menjadikan bukit ini
terkenal dan diagungkan sebagai gunung suci tempat tinggal Prabu Kian Santang,
putra Prabu Siliwangi yang menyebarkan Islam di wilayah Garut. Dikatakan
folklore karena masyarakat sekitar sangat mempercayainya, tapi belum ada
penelitian dan catatan sejarah yang menyatakan kebenarannya.
Secara
geografis, Gunung Nagara terletak di wilayah antara Desa Depok, Desa
Sukanagara, dan Desa Panyindangan Kec. Cisompet Kab. Garut. Menuju daerah
tersebut relatif gampang, dari terminal Garut kita hanya tinggal naik elf
jurusan Pamengpeuk-Garut dengan membayar ongkos RP. 25.000,00, atau jika
berangkat dari Bandung, kita tinggal naik bus tiga perempat jurusan
Bandung-Pameungpeuk dengan membayar ongkos Rp 50.000,00. Kita minta diturunkan
di Kampung Pagelaran Desa Depok atau Kampung Bantar Peundeuy Desa Sukanagara.
Dari dua kampung tersebut, bukit gunung Nagara sudah tampak begitu jelas, namun
sekilas tidak ada jalan menuju bukit tersebut, yang terlihat hanyalah tebing
cadas yang menurut pemikiran normal tidak mungkin untuk didaki tanpa peralatan
panjat.
Sesampainya
di puncak Gunung Nagara, secara langsung kita telah sampai di kompleks
pemakaman. Tempat itu dikenal dengan pusaran ka hiji (kompleks pertama dikenal
dengan nama Padepokan Gunung Nagara) yang di tempat ini terdapat dua puluh enam
kuburan. Makam-makam tersebut relatif besar-besar. Setiap makam dihiasi batu
"sakoja" dan batu nisan. Dinamai sakoja, karena batu tersebut berasal
dari sungai Cikaso diambil dengan menggunakan koja (kantong).
Kalau
kita perhatikan secara seksama, komplek pemakaman tersebut tersusun secara rapi
membentuk sebuah struktur organigram. Lima belas meter ke arah utara, terdapat
kuburan yang dikenal dengan pusaran kadua. Di tempat ini hanya terdapat dua
kuburan. Sekitar dua kilometer ke arah utara, terdapat kuburan yang dikenal
dengan pusaran katilu yang hanya terdiri dari dua makam. Konon kabarnya, makam
ini merupakan makam Embah Ageung Nagara dan patihnya.
Konon, tiga pusaran tersebut melambangkan Alquran yang terdiri dari 30 juz. Pusaran pertama yang terdiri dari 26 kuburan melambangkan bagian Mufassal (surat-surat) pendek, pusaran kedua melambangkan al-mi'un dan pusaran ketiga melambangkan sab'ul matsani. Oleh sebab itu, tidak diperbolehkan menambah makam.
Pada pusaran pertama itu terdiri dari para pengikut/pengawal yang salah satu di antaranya perempuan, pusaran kedua diyakini sebagai makam asli Prabu Kian Santang (Eyang Brajasakti) dan istrinya Ratu Gondowoni, dan pusaran ketiga merupakan kuburan Prabu Siliwangi dan patihnya. Sebenarnya, jika kita mau melanjutkan perjalanan ke arah utara, kita akan menemukan sebuah makam yang terpisah, konon kabarnya makam tersebut merupakan kuburan seorang berbangsa Arab (Syeh Abdal Jabar).
Bagi masyarakat yang akan melakukan ziarah ke komplek makam tersebut, disyaratkan baginya untuk melakukan ritual mandi di Sumur Tujuh. Sumur tersebut berada sekira setengah kilometer ke arah lembah. Sumur itu berada tepat didekat sungai kecil. Sebenarnya, sumur itu merupakan kubangan-kubangan kecil akibat dari resapan air.
Menurut sebagian besar masyarakat Cisompet, Situs Gunung Nagara erat kaitannya dengan penyebaran Islam diwilayah Garut Selatan yang disebarkan atas jasa Prabu Kian Santang. Malahan diklaim kalau sesungguhnya daerah Leuweung Sancang merupakan tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja Ratu Haji (raja Pajajaran yang terkenal), sehingga begitu melegenda kalau di leuweung tersebut terdapat harimau jadi-jadian, bekas pasukan Prabu Siliwangi. Sementara itu, walaupun terdapat daerah yang diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Prabu Siliwangi, penduduk Garut selatan meyakini bahwa makam asli Prabu Kian Santang itu berada di kompleks pemakaman Gunung Nagara.
Dari
cerita-cerita tersebut, rasanya tidak terlalu berlebihan kalau sesungguhnya
Gunung Nagara menyimpan rahasia yang harus segera dieksploitasi dan pemugara,
baik bagi kepentingan pendidikan ataupun bagi kepentingan pariwisata religi.
Menurut mereka, keberadaan makam lainnya hanya merupakan tempat persinggahan Prabu Kian Santang. Misalnya saja pemakaman Godog di daerah Suci-Karangpawitan-Garut. Mereka menyatakan kalau sesungguhnya di tempat tersebut Prabu Kian Santang hanya tinggal berkontemplasi merenungi kekeliruannya dalam melakukan sunat terhadap orang yang masuk Islam. Oleh sebab itu, tempat tersebut dinamakan "Godog" yang mengandung arti tempat penyucian jiwa atau dalam istilah pewayangan "Kawah Candradimuka", dan karenanya pula tempat ketika ia turun dari daerah tersebut dinamakan "Suci", yang berarti setelah melakukan kontemplasi ia kembali pada kesucian yang kemudian melanjutkan perjalanan menuju Garut Selatan.
So, berminat untuk kesini? Jadi
Penasaran gak gimana makam prabu kian santang? Yo ajak teman teman, kakak,
adik, keluarga, pacar, selingkuhan, mantan, bahkan gebetan untuk kesini lumayan
lah buat refreshing sekaligus bernostalgia tentang islam.
Yahhh Sekian postingan kali ini..
Eitsss, jangan nangis dulu masih ada kok cerita pariwisata pariwisata
selanjutnyaa.. Bye fans.. jangan lupa komentarnyaa yaaaaaa..
Postingannya bagus bangetz jadi pengen ke gunung nagara
BalasHapusjangan lupa ajak aku yahzz heeeee